An, Bagaimana kabarmu?
Kamu yang dahulu aku puja, sekarang? Jangan tanya. Aku tak tahu.
Detik ini aku hanya sedang bimbang, tak mengerti akan maunya hati, aneh sekali. Semua terjadi dari kemarin. Ketika aku berusaha berdamai dengan masa lalu -- tentang kamu tentunya, ada fakta yang benar - benar membuat aku benci dengan diriku sendiri.
Lain dari biasanya; aku yang selalu pergi ketakutan menghadapi kenyataan yang ada, dan memilih berdiam diri menjauh dari dunia, hari itu entah karena apa aku (merasa) siap untuk segala kemungkinan. Aku melangkah dengan yakin; meninggalkan ia, dan mendatangi kamu lagi. Semuanya berjalan begitu sepat sampai aku tak punya waktu menyadarkan diri.
Siapa yang menyangka kalau makhluk yang tinggi seperti kamu akan membalas pelukanku? Fakta yang seperti itu nyatanya belum siap aku terima. Atau memang aku belum siap menerima segala keputusan?
Tapi yang menyibukkan pikiranku bukan itu, melainkan semua kesimpulanku yang salah. Ada kilas balik yang benar - benar panjang di dalam sana, otakku sibuk. Memikirkan; akulah yang salah, menabur kebencian pada hatiku tentang kamu. Sedangkan kamu, pergi menjauh mengembangkan diri. Dan lihatlah sekarang, kamu benar - benar mekar dengan segala sikap rendah hatimu. Aku belum bisa yang seperti itu, aku iri juga malu. Aku yang sekarang bahkan belum punya bakal bunga, maka jangan tanya kapan akan mekar, sungguh aku malu.
Dengan semua pikiran kotorku tentang kamu, kemarin - kemarin aku menyalahkanmu. Maafku untuk kamu mungkin akan sangat berat untuk didengar. Aku tahu.
Aku, setelah pergi darimu menjadi manusia yang menyebalkan. Aku yang pergi, atau kamu yang pergi dariku? Fakta yang baru kemarin terungkap, membuat hidupku berubah saat itu juga; setidaknya pandanganku tentang kamu.
Aku yang mengibarkan bendera perang kepadamu, dan aku membencimu karena kamu menyerah dan pergi menyelami hidupmu sendiri. Sayangnya itu langkah yang salah. Melihat kamu tertawa saat bermain futsal, voli, dan memetik gitar membuat aku menyerah akan cintaku, membiarkan kamu memilih jalanmu sendiri. Urusan hidup memang berat, sulit memutuskan satu hal. Tapi melihat kamu yang sekarang, aku percaya masa laluku (tentang kamu) tak pernah kelam. Hanya ada aku yang menutupinya dengan awan kelabu.
Aku yang mengibarkan bendera perang kepadamu, dan aku membencimu karena kamu menyerah dan pergi menyelami hidupmu sendiri. Sayangnya itu langkah yang salah. Melihat kamu tertawa saat bermain futsal, voli, dan memetik gitar membuat aku menyerah akan cintaku, membiarkan kamu memilih jalanmu sendiri. Urusan hidup memang berat, sulit memutuskan satu hal. Tapi melihat kamu yang sekarang, aku percaya masa laluku (tentang kamu) tak pernah kelam. Hanya ada aku yang menutupinya dengan awan kelabu.
Komentar
Posting Komentar